Menjamak Salat Maghrib dan Isya karena Kepentingan Pekerjaan: Pendekatan Fiqih dalam Perspektif Islam Pertanyaan mengenai boleh tidaknya menjamak salat Maghrib dan Isya karena shift pekerjaan merupakan hal yang seringkali membingungkan bagi sebagian umat Islam yang berada dalam situasi serupa. Dalam Islam, salat memiliki posisi yang sangat penting, namun dalam kondisi tertentu, ada kelonggaran yang diberikan berdasarkan syariat. Berikut adalah penjelasan mengenai hal tersebut: 1. Prinsip Salat Menurut Al-Quran dan Sunnah Salat adalah ibadah yang memiliki waktu yang telah ditentukan, sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 103.

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا “Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.”

QS An-Nisā’ [4]:103

Nabi Muhammad saw juga mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga waktu salat sebagai prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari.

مَا رَأَيْت النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلاةً لِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلا صَلاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ ” أَيْ بِمُزْدَلِفَةَ “Tidak pernah sekalipun aku melihat Nabi Muhammad saw salat di luar waktu salat, kecuali dua salat, salah satunya ketika beliau menjamak magrib dan isya di Muzdalifah (red: saat berhaji). ”

(HR al-Bukhari)

«كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار» (ص140): «ذهب جمَاعَة من الْعلمَاء إِلَى جَوَاز الْجمع فِي الْحَضَر للْحَاجة لمن لَا يَتَّخِذهُ عَادَة وَبِه قَالَ أَبُو إِسْحَاق الْمروزِي وَنَقله عَن الْقفال وَحَكَاهُ الْخطابِيّ عَن جمَاعَة من أَصْحَاب الحَدِيث وَاخْتَارَهُ ابْن الْمُنْذر من أَصْحَابنَا وَبِه قَالَ أَشهب من أَصْحَاب مَالك وَهُوَ قَول ابْن سِرين وَيشْهد لَهُ قَول ابْن عَبَّاس رَضِي الله عَنْهُمَا أَرَادَ أَن لَا يحرج أمته حِين ذكر أَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم (جمع بِالْمَدِينَةِ بَين الظّهْر وَالْعصر وَالْمغْرب وَالْعشَاء من غير خوف وَلَا مطر) “Sebagian ulama berpendapat boleh menjamak dua salat bagi orang yang mukim (bukan musafir) karena adanya kebutuhan (hajat) akan hal itu, asalkan tidak menjadi kebiasaan diri. Ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Marwazi, al-Qaffal, al-Khattabi dari sebagian ulama ahli hadis, Ibnu al-Mundzir dari kalangan Syafi’iyah, Asyhab dari Madzhab Maliki dan juga pendapat Ibnu Sirin.

2. Kriteria untuk Menjamak Salat Menjamak salat diperbolehkan dalam Islam dalam beberapa kondisi tertentu, seperti: 3. Keputusan Fiqih dalam Kasus Khusus Dalam kasus pekerjaan dengan shift yang tidak memungkinkan untuk menunaikan salat tepat waktu, ini dapat dikategorikan sebagai kebutuhan atau hajat yang mendesak. Namun, penting untuk diingat bahwa kebolehan ini tidak boleh dijadikan praktik rutin tanpa memperhatikan faktor-faktor kebutuhan yang sebenarnya. 4. Pilihan bagi Individu Dalam konteks pertanyaan ini, individu dapat memilih antara dua pendapat yang diberikan oleh ulama. Pertama, mengikuti pendapat mayoritas ulama yang tidak membolehkan menjamak salat karena urusan pekerjaan, sehingga individu wajib mengqadha salat yang ditinggalkan. Kedua, mengikuti pendapat sebagian ulama yang membolehkan menjamak salat karena hajat atau kebutuhan, dengan catatan tidak menjadi kebiasaan yang rutin dan tetap memperhatikan keutamaan salat tepat waktu. 5. Penutup: Kesimpulan dan Doa Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita sebagai umat Islam harus selalu berpegang teguh pada nilai-nilai agama, namun juga memperhatikan konteks dan kebutuhan yang ada. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan kemudahan bagi kita dalam menjalankan kewajiban agama serta menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.
Artikel ini adalah rangkuman dari